Langsung ke konten utama

Wanita Itu

“When someone is crying, of course, the noble thing to do is to comfort them. But if someone is trying to hide their tears, it may also be noble to pretend you do not notice them.”
A Series of Unfortunate Events by Lemony Snicket

kali ini saya ingin membagikan karya yang saya tulis  tahun 2015. Saat lagi ngisi waktu luang duduk-duduk di lantai 2   kampus nunguin seorang cewek yang eh...eh...eh...(gugup) kalian  tahulah ...setengah mengehayal berharap pake banget dia untuk lewat . (gilden, parah banget malu ah) :D dan yang kerennya , dia betul-betul lewat dan yang lebih gila lagi dia sampe duduk berdampingan untuk minta sesuatu dari laptopku . hufffh it was a freezing moment indeed. :D  ok dari pada keterusan dan kelewatan bercerita yang ngak-ngak ini dia cerpennya selamar menikmati:

Serasa kemarin sore
Cerpen oleh Glint Lintjewas

Seperti terasa kemarin sore , saat matahari yang tadinya terik mulai menarik diri dari kelelahannya mengelilingi siang . aku dan saudara perempuan Resil, anak berambut pendek lurus  sebahu  yang lebih muda dua bulan dariku tapi tingginya satu jingkal lebih dari aku . kami berlarian mengejar senja. Kebiasaan itu kami lakukan selepas pulang dari kebun untuk menghusir barung-burung yang memakan padi kami. Setiap pulang sekolah , kami selalu bersama-sama , tak pernah kami hanya berjalan ‘biasa’ menuju sawah . kecepatan tinggi selalu kami pacu melewati jalan tanah yang kini kering karna hujan sudah lama malu turun membasihnya. Tak jarang aku atau Resil si saudara perempuan ku ini terjatuh dari litir(pemantang) . tapi bukannya berhenti dan menangis , itu seperti menjadi pemacu untuk kami menambah kecepatan dalam berlari.
 Setibahnya di sawah kami selalu disambut oleh om ku Yonce papanya Resil. Tapi sambutan yang selalu kami lihat, bukanlah senyuman yang mengembang di bibir .menurutku jika itu yang dikeluarkan , maka kehangatan yang akan kami rasa.tapi tidak demikian dengan om Yonce, tak pernah sekalipun aku melihat dia tersenyum apalagi tertawa, bahkan aku terkadang menjadikan itu sebagai bahan ejekan terhadap anaknya yang berbanding terbalik dengan bapaknya, lelaki berbadan besar dengan kumis tipis menyebar diatas bibir. Gagah betul wajahnya , dengan rahang tegas  dilengkapi alis seakan menukik, membuat kami anak-anak tak berani mengusik ketentramannya.
Tapi Resil tindak mewarisi semua itu .tidak bahkan untuk secuil .  mungkin gen ibunya yang mendominasi.  resil selalu tersenyum dalam segala situasi. Maksudku , segala situasi. Baik itu senang, bahagia, suasana yang biasa-biasa saja bahkan disaat sedih harusnya menguasai gimik , hanya senyumlah yang dia keluarkan. Kesalahan teknis waktu lahir dan merusak bagian senyum otaknya atau mungkin sebagai penyeimbang bagi papanya yang tak tertarik dengan senyum.
“cepat! makan dulu kalian!” itulah yang menjadi semacam password yang selalu papa resil ucapkan ketika jarak kami dan sabua (gubuk) tempat berteduh di sawah kira-kira tinggal 20 jengkal lagi. Aku hebat dalam pengukuran  jengkal. Itu merupakan permainan wajib antara aku dan Resil . Menurut kami , itu harus kami kuasai kalau-kalau nantinya kami besar dan akan menjadi arsitek seperti di iklan TV atau astronot seperti di iklan obat nutrisi. Entah apa yang ada di pikiran kami saat itu mengenai pengukuran jengkal. Apakah kami akan mempergunakan itu nantinya untuk pengukuaran bangunan? “oh bapak kontraktor, ternyata tinggi pilar sector 83 itu 234 jingkal , jadi kami perlu 250 jingkal besi.”atau mungkin “lapor maskar besar NASA, kami telah mencapai planet N76Ji, dan setelah kami melakukan observasi dan pengukuran secara kompehensif , ternyata jarak antara bumi dan N76Ji adalah 5.454.586.869.233 jengkal.”
Lahap benar kami makan, padahal hanya nasi dan kangkung yang dicah menu utamanya. Tak hentinya aku dan resil berkomat-kamit berbicara cepat karna nasi dan kangkung masih memenuhi mulut. Tapi entah kenapa, kami saling mengerti apa yang kami berdua katakan, mungkin seperti komunikasi para lumba-lumba , kurasa .tak ada nasi sebutirpun yang kami sisakan . Betul-betul lapar kami itu juga karna ingin untuk cepat-cepat beraksi setelah selesai makan.
Resil memaksa untuk mengeluarkan senjataku”ayo sudah, mari kita mulai.”
“tunggu sedikit lagi , makanan ku masih ditenggorokan , eh kerongkongan …” jawabku yang masih belum bisa membedahkan tenggorokan dan kerongkongan. Resilpun datang mendekat  dan dengan cepatnya mengurut leherku dengan paksa dan kasar yang membuat aku hampir saja tersendak.
“sudahkan … sekarang kangkungnya sudah ada di perut. Ayo kita mulai” resil berkata sambil menarik tanganku dan berlari cepat menuju arah plastik yang tergantung di sudut  sabua. Plastik kresek merah itu adalah semacam  sarung tempat senjata ku disimpan. Yang ku maksud dengan senjata adalah kumpulan dari kaleng susu berukuran sedang yang disatukan dengan mengunakan plakban , dan dibungkus kemudian jika diberi spritus yang nantinya di picu mengunakan stopkontak dari staker(macis gas), dan bisa membuat suara bak meriam yang kuat dan mengema.
Kami merayap perlahan di balik rerumputan   bagai tentara amfibi yang sedang majalankan misi rahasia melawan teroris , persis begitulah yang kami pikirkan saat baju dan badan kami ternoda oleh lumpur dari pinggiran sawah langkap dengan goresan lupur di wajah yang tanpa sengaja menyelubungi muka .semakin mirip amfibi memang.
“itu disana” bisik resil pelan di belakang telinga ku.
“tunggu sedikit lagi, sedikit lagi”balasku dengan gerakan tangan mendekati wajah resil.
“kenapa? Nanti burung-burung itu lari duluan lagi . ayo cepat!” resil memang anak dari om Yonce. Kata ‘cepat’ selalu dengan cepat keluar dari mulut mereka .  mendengar perintah dari komandan Resil ini aku malahan hanya mengambil sebuah jangkrik dari rerumputan diantara aku dan resil. Resil semakin kesal dan mengabil senjataku yang sudah sedari tadi aku goyang-goyangkan sebagai syarat untuk menyalurkan spritus-spritusnya ke bagian-bagian dalam senjata. Tak menunggu lama burung-burung yang senang memakani padi-padi yang menguning itu terhempar cikar kabur ke berbagai arah mendegar bunyi bak meriam yang memekik memecah siulan burung-burung lainnya. Aku sampai-sampai terhempas mendegar suara keras itu . jangkrik yang hampir bisa aku kantongi  terbang dengan cepat ketakutan oleh bunyi bergemuruh itu.
Tertawa terpintal-pintal kulihat Resil . bahkan saking antusiasnya dia tak memperdulikan lagi tempat dia berbaring adalah becek dari sawah. Wajahnya begitu senang membuat aku yang tadinya ingin memerahinya mati-matian, kini terhanyut oleh tawanya itu dan ikut tertawa tak kalah kuatnya . beberapa kali kami memainkan senjata kami ini. Tak sedikit dari burung-burung yang balik lagi tapi kembali terbang ketakutan oleh tembakan bertubi –tubi kami. Seakan tak pernah puas melihat mereka terpental-pental terbang kocar-kacir, resil terus-terus saja mengunakan sejata itu . memang tak pernah puas dia , pikirku .
Hanya jingga sore dan teriakan panggilan dari om yonce yang bisa menghentikan kegilaan dari anak satu ini. Bunyi gemericik dan desis dari serangga –serangga ‘rie-rie’ yang menandakan sore kian mengujung dan malam hampir menganti membuat kami berdua bergerak melangkahkan kaki yang terbenam di lelumpuran sawah .
seperti sesuatu yang betul-betul wajib dan menjadi semacam ritual yang kami lakukan setiap hari, resil dan akau langsung membenamkan diri di got (selokan drainase air)dengan air yang bersih . tempat kami membersihkan diri dari sekian banyak kotoran bahkan ada yang masuk sampai telinga –pengaruh saking lincahnya mungkin. Inilah permainan menyenangkan lainya sebelum kami betul-betul pulang.
Saling memancar air di wajah masing –masing. Berenang-berenang kecil di tempat yang arusnya pelan, ‘bertapa’ di air terjun kecil yang menguyur mulai dari kepala dan mengalir pelan mendesir hingga seluruh tubuh. Itulah tradisi wajib kami saat mandi bersama. Tak ada rasa canggung tak ada rasa malu , Yang kami tahu hanya bersenang-senang menikmati waktu dan berusaha memaksa waktu untuk berhenti. Berhenti tepat di saat kebahagiaan memuncak. 
Siluet om yonce terlihat gagah dari kejauan , pengkontrasan antara ketangguhan lelaki paruh baya dengan kelembutan senja. Perlahan om yonce mulai melangkah mendahului kami. Sempat dia menoleh kearah kami saat aku mengantungkan senjata ku di kresek merah  sambil aku dan Resil saling mengelitik dan tertawa seakan gila saat aku kembali terjatuh dari litir. entah karna kelelahan atau ekstra kelelahan  yang membuat delusi muncul  dan memanifestasikan  realitas , tapi aku betul-betul yakin yang kulihat adalah senyuman tipis dibalik wajah gagah itu.  
Berjalan mengejar senja . indah sekali. Warna dan siluet memberi tinta untuk lukisan pemandangan ini. Burung berterbangan menjadi manik-manik penghias dan udara sejuk menjadi penenang. Hanya nafas perlahan yang menjadi balasan ku mengahayati waktu . berhentilah disini dan jangan bergerak lagi . abadilah bersama momen ini.
tapi semua terus bergerak perlahan searah angin yang semilirnya menghantarkan kami. Aku anak laki-laki biasa, berjalan berdampingan dengan seorang laki-laki tangguh  penuh ketegasan dan anak perempuan teriang yang pernah ku kenal.  Kami bertiga tak ada yang berani menyangkal bahwa dunia yang kami lihat ini adalah keagungan Tuhan sembari kami hidup karna anugrah Tuhan  dan membalas Tuhan dengan terus  bernafas sembari mensyukuri hidup.
Diujung lorong yang berpohon pinus besar tempat kami berpisah, resil berteriak keras dan masih dengan seyuman yang menjadi atribut alaminya “jangan lupa besok!!! ”. aku berpaling dan melihat dia lagi dan membalas dengan angukan juga senyuman yang tak sebanding. Dan angin sore membawa kami berlalu.
Dunia memang tak pernah pasti, dan bergulirnya tak pernah terpahami. Mau berpindah kemana dan berakhir dimana. Nasib tak pernah seperti air sungai mengalir dari hulu perlahan membelah hilir dan bergabung dengan laut.tak pernah seperti senja yang selalu pasti datang setelah siang –tidak  pernah  sebaliknya. Nasib selalu  seperti keberadaan angin. Tak punya markas tempat dia berasal dan arah pasti tuk dituju –tak  tertebak dan terpahami.
Anak perempuan teriang yang pernah kukenal kini hilang, bukan raga tapi diri. Dia yang hanya tahu untuk senyum dan tertawa riang. Kini telah belajar dan bahkan menguasai sedih dan tangis. Senyuman yang begitu lebar itu punah direnggut suara tangis tak henti. Mata yang penuh cahaya bagai bersinar oleh cahaya rupawan kini redup dan suram . wajah pualamnya kian memucat merubah dia yang seakan putar balik dengan derajat yang tak sama.
Ayahnya , om yonce . pernah menjadi penjagal zaman orde baru. Laki-laki terkuat dikampung kami, tak terkalahkan dalam setiap pertarungannya , bahkan saat uzur tak pernah dia mundur saat ditantang, tak pernah ada cerita yang menjelaskan mengenai fable kekalahannya, tak  ada yang bisa tahan mengadapi tatap sangarnya bagai mata macan mengancam semua macan. dia yang terkuat menurutku, laki-laki yang tak terkalahkan. Tapi kini dia mati.
Kamilah saksinya, menemukannya terkapar , tertelungkup menghadap lumpur. Tenyata dia kalah dalam pertarungan melawan serangan jantung. Kami tak kuat mengangkatnya, mungkin karna  badan yang besar dan tekanan batin yang begitu berat. Aku tak bisa menangis . air mataku seakan tertahan di ujung pelipis seraya Resil merontak mengila mengoncangkan tubuh ayahnya seperti ingin mengembalikan nyawa ayahnya dari alam baka kembali menempati tubuh. Dia tak terkendali. menangis sejadi-sejadinya .
Disitu aku tahu bahwa seorang yang bisa tertawa begitu lepas , saat menangis akan begitu mengerikan.  Aku tak tahu lagi apa yang terjadi tapi yang kutahu pasti aku telah merangkul resil di pundakku dan berkata pelan di telinganya “menangislah sepuasnya”.
 Semuanya terasa seperti kemarin sore. Padi kian menguning,  langit biru kian kelabu , wanita terceria yang pernah ku kenal untuk pertama kali menangis sejadi-jadinya dan aku yang terdiam dengan mata kosong menatap takdir.

30 oktober 2015

  i you have something leave a comment please. :D

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Suicidal Note to The Murderer

“They would have been twice as thorough as usual. Suicide is a difficult thing to have to accept—” Robert Galbraith The Cuckoo's Calling (2012) I clearly make an embarassed mistake, I think the birthday of John Dickson Car is (30/10), so I finish the book really quick to chase the deadline. So, (30/11) is the real 110th  birthday of the Grandmaster of the locked room Mystery. John Dickson Carr. And to celebrate that, JJ from https://theinvisibleevent.wordpress.com/ , invite a Carr fans or mystery fiction fans in general to submit something Carr-related. And I as a novice reader of Carr legacy, think it seems like fun to join the festivity. as the beginning for me, I usually start a series chronologically like in Sherlock Holmes, Poirot, and Ellery Queen but I make my exception not to choose “Hag’s Nook”(1933) instead of prefer “The Case of The Constant Suicide”(1941). Though I just finished reading the day before (29/10) D-Day, because some  kind of busyness. In a train

The Hawk,Dove and Raven

“Dead men are heavier than broken hearts.”  Raymond Chandler ,  The Big Sleep Dalam rangka mengisi liburan seminggu karena lebaran , saya berencana untuk membaca kira-kira 3 buku atau lebih untuk diselesaikan dalam seminggu ini  rencananya semuanya novel Misteri kecuali mungkin Metamorphosis-nya Kafka yang sudah 50% . dari beberapa buku yang sementara dibaca,buku  pertama yang  selesai adalah buku dari Sidik Nugroho, Tewasnya Gagak Hitam. Seorang pengarang ditemukan tewas di sebuah kamar kost yang baru beberapa hari ditempatinya di Singkawang , tanpa barang-barang pribadi yang banyak, hanya barang Default dari kamar kos tersebut. Gantung diri adalah penyebab kematiannya dan bunuh diri itu yang diyakini oleh para penyidik , tapi tidak dengan Elang Bayu Angkasa , seorang  pelukis freelance yang penasaran mengenai berita ini di koran yang dibacanya di sebuah warung kopi dan tak habis pikir , kenapa harus seorang pengarang? Tapi kenapa tidak? Dari rasa penasaran nya itu akhirnya E

Chain of The Queen

“ Pure reasoning has it that when you have exhausted every possibility but one in a given equation that one, no matter how impossible, no matter how ridiculous it may seem in the postulation—must be the correct one” Ellery Queen , (The Roman Hat Mystery ,1929) Akhirnya bisa memuat posting-an Blog setelah waktu yang lama. Pengaruh malas pastinya. Tapi kali ini karena akhirnya bisa menulis sesuatu mengenai  mystery fiction,  harus menulis tentang konten yang layak. Dan yang  dimaksud dengan layak disini adalah novel pertama yang ditulis oleh dua saudara sepupu Frederic Dannay dan Manfred Lee atau yang lebih akrab dikenal dengan nom de plume sama seperti protagonist-nya Ellery Queen. Dengan novelnya The Roman Hat Mystery (1929) Saya akan sedikit mengikuti cara menulis blogger favorit saya untuk memisahkan antara penulis dan karakter, Ellery untuk Karakter dan Queen untuk Penulis. Di Indonesia sendiri, nama Ellery Queen mungkin sangat jarang didengar. Kalah terkenal diband