Aku, Hujan dan Dia.
Oleh: Glint Lintjewas
Saat hujan, orang-orang selalu menanti pelangi indah saat
hujan berhenti. Aku bukan orang-orang
itu. Saat hujan yang aku nantikan, ya itu. Hujan… Hujan dan dia.
“Sedia
payung sebelum hujan.” Adalah frasa yang paling tidak digunakan para penanti
pelangi. Karena ‘sebelum hujan’nya itu sangat sulit diketahui, yang sangat
sulit dideterrminasi. Sebelum hujan adalah jarak waktu antara hujan sebelumnya dan
hujan selanjutnya, dan entah berapa lama jarak waktu sebelum hujan itu. Jadi
solusi terbaikku adalah selalu membawa payung di waktu manapun. Seperti Nuh
yang membuat batrah tanpa tahu kapan air bah nya akan datang.
Dan
harus dua. Maksudku payung yang aku bawah harus dua. Bagi yang merasa kalau ini
aneh, okey mari dengar penjelasan kliseku. Beginilah itu bermulai. Sejauh yang
aku ingat, aku seorang siswa SMA kelas dua, hidup sebagaimana siswa SMA
seharusnya, tapi bukan aku yang menilai aku, orang-orang sekitarku, mereka
bilang sih begitu. Aku nggak mungkin bertanya ke mereka “Apa
aku normal?” Karena dengan begitu aku secara instan menjelma menjadi alien dari
planet normalkahaku yang seharusnya
bergaul dengan maskot kental manis yang jangan disebut lagi susu, Karena itu
standar normal baru.
Sebagaimana
aku bilang aku normal, itu secara instan membuat aku menjadi salah satu penanti
pelangi, dulunya. Yang mana aku tidak
pernah membawa payung sebelum hujan. Dan tentu saja membenci hujan, ketika dia menyombongkan kemampuannya secara
tiba-tiba saat aku tengah berjalan santai.
Lari cepatku adalah seperti kemampuan harian yang hanya dipakai sekali
sehari, dan tadi pagi aku terlambat bangun. Aku hanya berjalan santai dan
bertepi ke sebuah pondok kecil, hanya aku yang disana.
Padahal hujan adalah salah satu music terbaik untuk mengantar tidur, tapi aku memilih untuk
mendengar lagu sendu lain untuk menemaniku. Aku membuat dunia music saling
melawan. Hujan, musik alami dan Mondo Grosso, music electric modern yang
bertujuan sama. Entah mereka beradu atau
berpadu. Hujan x Mondo Grosso.
Ehm…
Dan ini bagian terbaiknya.
Tak
ada yang bisa menjawab bagaimana cinta bisa bermula, bagaimana rasa itu bisa
timbul. Jika kau tanya aku, aku juga tak bisa. Tapi… setidaknya aku punya
jawaban untukku sendiri, Hujan dan dia.
Seperti
muncul dari horizon, dewi negeri dongeng. Negeri dimana dewinya berjalan
perlahan memeluk tas anak SMA. dia muncul begitu saja seperti diciptakan oleh
otoritas hujan itu sendiri. Dia bahkan berjalan jauh lebih santai dari aku,
tidak angkuh, tanpa kebohongan, tanpa peduli, hanya ingin menegaskan kedewiannya.
Dia tak salah. Hujan yang membawahnya dan biarkan dia bergerak bersamannya.
Saat
posisi kami linier, dia berpaling menghadapku. Aku terdiam, selayaknya seorang
makhluk yang menatap dewinya, tak bisa berbuat apa-apa. Sedetik kemudian matanya berbicara kepadaku
dengan tatapan yang berarti: ‘kau punya payung?’. Hanya terkagum yang bisa
mataku balas sampai akhirnya waktu bertatap kita selesai dan waktu terbaikku
sepanjang hidup selama 16 tahun yang bisa kuingat, berakhir. Terganti dengan
suara hujan yang entah kenapa seperti keheningan kedap suara. Aku terjebak
dalam ruangan tanpa bentuk kedap suara yang hanya ada aku dan penyesalan,
bertiga dengan tulisan besar “KENAPA!?
Kau tidak membawah payung?” yang menatap
kami berganti-gantian.
Hanya
ada dua masa, sebelum dia dan sesudah dia. Dia itu terang, dan sebelum dia itu
kelam. Hanya dengan menatapnya, aku paham kenapa Tuhan pertama menciptakan
terang.
Pertemuan
itu mengubahku. Pertemuan itu membuat aku mempunyai tujuan hidup, bukan untuk
menyelamatkan dunia dari serangan monster besar, tapi memayungi dia saat hujan
datang. Jadi aku putuskan membawah dua payung kemanapun. Harus dua, karena aku
anak laki-laki 16 tahun yang nggak
mungkin sepayung berdua dengan dia, belum mampu dan tahu diri. Itu lah jawaban
untuk kenapa? Klise, kan?
Aku
menjadi alien. Selalu ada momen tertentu dalam hidup manusia yang mengubah
mereka, bisa itu lolos dari bencana, menang lotre, pengalaman hampir meninggal dan
aku… Ini. Membuatku bermetamorfosis menjadi aku yang lain.
Aku ingin menyimpan semua
hal yang ada ke dalam lemari dan menyisahkan aku dan payung ini. Ini misi baruku
dalam permainan yang disebut hidup, dan tak ada yang ingin misinya gagal. Jadi
aku serius untuk misi ini. Misi menyelamatkan dewi hujan dari hujan, sebuah
misi yang paradox. Aku berubah, bahkan
cara bicaraku pun sedikit berbeda, seperti itu yang pertama berubah saat ingin
hidup ‘baru’, semacam, “aku tidak mau mendengar suaraku lagi.” bagi
sebagian pelaku kriminal.
Bukan hanya aku yang
menyadari perubahan ku, memang terlalu jelas. Seorang yang pada hakikat
dasarnya tidak terlalu mencolok di kelas, kini mencolok karena ketidak
mencolokannya. Semua memperhatikan aku yang tidak fokus dengan sekitar, terlalu
fokus terhadap apa yang mungkin aku anggap lebih penting. Aku mempunyai
perkumpulan diantara teman-teman kelas. Biasalah kebiasaan anak sekolah yang
ingin memiliki perkumpulan. Di kelas ku ada perkumpulan yang menyukai K-pop,
J-pop, anime, acara alay, FTV Indonesia, macam-macam. Dan aku tergabung dalam
perkumpulan yang tidak menyukai apa yang perkumpulan lain lakukan. Kami ada
lima orang. Kerjaan kami hanya duduk berdekatan dan mengurus urusan
masing-masing. Entah sejak kapan kami menjadi perkumpulan setahuku kami tak
pernah rapat perkumpulan untuk membahas itu. Kami memang tidak pernah membahas
apa-apa. Sekarang itu tidak penting karena bahkan perkumpulan ku tidak ingin
berkumpul dengan ku, aku sekarang anggota
dari perkumpulan yang tak punya perkumpulan, jumlah anggota: 1. Aku.
Hari lahir perkumpulan: tepat saat aku membawah dua payung dan menjadi pendiam
di sudut ruangan.
Ada banyak rumor yang
bersebar menganai aku, ada yang bilang aku kesambet, aku jadi mucikari,
diperkosa oleh om-om, atau ada yang bilang aku telah menjual jiwa ku ke iblis,
huhhh… terdengar keren. Aku semacam
legenda masyarakat yang hidup di kelas ku. Panggil aku Rindaman kalau
perlu… Maksa.
Aku menaruh payungku di
sudut belakang kelas. Itulah mulanya mereka mulai mencurigai keanehan ku,
diikuti dengan kebisuanku untuk menjawab pertanyaan untuk apa payung itu. Aku
memang tidak pernah peduli pendapat orang lain mengenai aku. Sampai suatu saat setelah pulang sekolah aku
mengambil payungku, dan berjalan keluar dari sekolah. Hujan pun datang, ku buka
payungku dan berjalan santai, sampai aku sadar kalau aku hanya membawah satu
payung.
Di sekolah tidak ada. Di
seluruh sekolah tidak ada. Hilang. Aku mencurigai semua orang, sampai satpam
yang menjaga sekolah yang baru masuk kemarin kumasukan dalam daftar yang ku
benci. Tanpa alasan pasti. Cuma pengaruh labil yang kesal. Aku berakhir di tempat duduk di pondok yang
sama saat pertama aku melihatnya, walaupun matahari tidak terlihat, aku sadar
ini sudah sangat sore. Dia pasti sudah
lewat. Salah satu alsan lagi untuk kesal.
Aku duduk berteman dengan
diriku sendiri untuk waktu yang lama. Hujan rintik itu bernada. Nada mengejek
terbaik yang mampu di arasemen oleh hujan.
Bukannya aku ingin hidup
sendiri dan terdengar menyedihkan, tapi bukankah dunia memberikan kita sedikit
pilihan, dan duduk menatapi hujan adalah salah satu yang terbaik diantara. Aku
menatapinya lama. Entah apa itu.
Kenapa hujan terdengar
sangat menyedihkan dan melankolik? Hujan
memutuskan hubungan kita dengan dunia, kita tidak sebebas biasanya. Saat sedih banyak orang mandi di shower. Dan
saat hujan, kesedihan itu seperti dibagi ke seluruh dunia. Kesedihan skala
besar.
Malam itu juga aku memulai
kegiatan baruku, menjahit. Tujuanku sederhana, agar payung yang ku bawah selalu
berada di dekatku. Di samping tasku dan tas yang aku pakai hanya mempunyai satu
tempat untuk payung. Jadi, solusinya adalah aku menjahit yang satunya
lagi. Sayangnya aku tidak tahu menjahit.
Bahkan aku tidak lulus tes dasarnya, memasukan benang dalam jarum. ahhhh…
susahnya itu. Mungkin lebih mudah memasukan unta ke lubang jarum dari pada
memasukan benang ke lubang jarum. Di dunia modern ini apakah belum ada ya orang
yang menciptakan alat untuk memasukan
benang dengan mudah? Kita sudah banyak kali pulang pergi Mars loh.
Kakakku pun tertawa geli
melihatku frustasi. Tipikal kakak yang tak bisa diandalkan, perempuan yang
melihat kesenangan yang luar biasa di tengah kesengsaraan dasyat makhluk
sedarahnya, kalau saja dia bukan satu-satu keluargaku yang tersisa, mungkin dia
akan aku tukar mesin pemasuk benang dalam jarum, kalau ada.
Kakakku ini adalah orang
yang pintar, itu bukan pujian, aku tak ingin memujinya, nggak akan. Tapi tak
ada orang yang ku kenal lebih pintar
dari dia. Dia mengerti banyak hal yang sangat remeh. Contohnya dia pernah
memberikan penjelasan panjang lebar, lengkap dengan nama-nama orang dan tahun
mengenai konsep sosialisme hanya karena aku bertanya kenapa uang jajanku
berkurang? Aneh, kan. Tapi dia juga
mampu berhitung dengan sangat cepat. Sangat cepat. Mungkin karena itu dia
langsung jadi anilis andalan hanya dalam waktu kurang dari 1 minggu bekerja. Tapi
di tengah ke pintarannya, dia sesekali membuat keputusan bodoh, misalnya sekali
menjadi pacar seorang laki-laki brengsek, tiga kali membeli produk pemutih
abal-abal, berhenti dari pekerjaan kantor dimana dia menjadi analis terkemuka untuk
menjadi relewan. Ehhhhh… sorry untuk yang terakhir bukan keputusan bodoh
kayaknya, itu keren.
Matanya itu walaupun dia
masih 20an tapi seperti mata seorang
peramal, dengan menatap pupilnya saja, dia seperti mendownload isi kepalamu.
Lebih baik dia bersaing dengan Sherlock Holmes deh, dari pada menjadi kakakku.
“Sudah cukup, nah begini…”
ungkap kakakku akhirnya paham kegundahan adiknya, atau dengan kata yang lebih
halus, sudah puas menertawai aku.
Dia tidak pernah langsung
mengerjakannya tapi selalu memberikan contoh agar aku yang mengerjakan. Memang
dia tahu banyak hal, menjahit pun tak luput dari pengetahuaannya. Aku yang
dungu dalam menjahit setelah dilatihnya menjadi naik level jauh, aku seperti
merasa mampu menjahit jas pernikahanku sendiri.
“Kau butuh uang
tambahannya tidak?”apa lagi yang sudah diketahuinya. Kakakku menatap tas ku dan
payung.
“Tidak, untuk apa?” ya,
aku butuh uang tambahan, aku ingin membeli payung baru, dan sepertinya dia tahu
itu, dan dia juga tahu kalau aku berbohong. Dasar wanita penyihir pembaca
pikiran. Tapi aku tidak ingin membebaninya, dia sepertinya kesulihatan uang akhir-akhir
ini.
“Ya sudah, bisa diteruskan
sendirikan? mau instirahat.”
“Nggak makan dulu?”
“Apa…? Minyak garam? Kakak sudah makan kok tadi, kamu sudah?”
“Sudah.”
“Hei, kalau uang makan mu
kurang, jangan sungkan bilang ke kakak, ya?”
“Iya, sudah-sudah kakak
istirahat sana, ganggu aja. Menjahit itu perlu ektra konsentrasi, ”
“huuuuh… the artist is on
progress”
Butuh waktu sampai pukul
12 lewat hingga aku menyelesaikan karya pertamaku, jahitan tangan yang sangat
aku banggakan. Di sudutnya aku membuat inisial namaku. R.D bentuk narsisme
semua seniman. Baik melihat sebuah
magnum opus aku bangga dengan karyaku ini. Aku punya cita-cita baru kayaknya.
Menjahit.
Toko serda atau
kepanjangan dari serba ada, adalah toko kecil yang menjadi tempat langgananku
untuk membeli berbagai macam hal mulai dari makananku setiap hari sampai
peralatan-peralatan sekolah sampai payungku adalah benda yang dulunya dijual di
toko ini. Aku pelanggan setia, hampir setiap hari aku membeli makanan disini,
penjaga tokonya pun sudah kenal gerak-gerikku. Langganan. Langsung saja ibu
Sanny mengambil bungkus nasi kuning, dia bertindak begitu normal hari ini. Tapi
tidak hari ini. Aku bukan aku yang kemarin dan kemarin dulu. Jelas aku langsung
menggeleng. Ibu sanny binggung dengan gesture ku yang berbeda, mencoba membaca
enigma dari pergerakanku, ibu Sanny menyerah.
“Kenapa, dek Ri? Nggak
makan?”
Aku hanya menggeleng.
membalas
“Nggak punya uang?”
Aku mengeluarkan uang
jajanku, uang jajan yang ditinggalkan kakak tadi pagi, katanya saat aku masih
tidur, karena pengaruh masih ngantuk,
yang jelas ku dengar hanya aku harus cepat bangun, kakak mau pergi ke tempat
bencana di mana gitu, mungkin berapa lama nggak terdengar jelas dan uang makan
dan jajan ada di meja. Di bagian uang jajan sih aku sudah bangun, telingaku
berfungsi penuh. Kira-kira seperti itu.
Dan nominal uang jajanku
ini, lumayan. Aku tiba-tiba merasa kaya. Mungkin aku kemarin laki-laki nasi
kuning tapi hari ini aku laki-laki ayam lalapan. Naik derajat lah sekali-kali,
dengan bangga aku melahap lalapan dan dengan tenang aku minta tambah. Enak juga
makan dua lalapan di pagi hari. Kapan terakhir aku makan seperti ini? Tidak
pernah.
Wajah senyum-senyum a la pemilik tambang emas aku pasang
menatap ibu sanny yang binggung harus menyikapi ku seperti apa.
“Berepa semuanya?” Behhh…
dialog sombong yang aku latih tadi pagi didepan kaca.
“42
ribu dek.”
Aku mengeluarkan 50ribu langsung. Dan bersiap untuk
mengatakan dialog sombong lainnya yang sudah aku katam sejak latihan terakhir
tadi di jalan.
“Simpan
kembaliannya.”Behhh…
Aku berjalan berusaha berlalu agar scene ini terlihat
sangar tapi aku lupa satu hal, aku harus membeli payung baru. Dan harus biru.
Kenapa? Ya karena akan sesuai dengan tas yang dipeluknya waktu itu.
Aku menunjuk kearah payung biru navy, di dalam pelastik
yang digantung.
“Ambilkan yang itu, bu”
“Itu yang paling mahal
dek, ini ada yang 20 ribuan kalo itu mah 70 ribu dek.”
“Apa aku terlihat kaget
dengan harganya.”uhh… kalimat sombong lainnya yang entah dari mana aku
mengutipnya mungkin buku database kalimat sombong edisi 2, yang membuat aku
merasa bersalah mengatakannya dan instan minta maaf ke bu Sanny. Namun tetap membeli payung tersebut, dengan
uang kembalian yang aku ambil.
Saat aku baru saja keluar
dari toko serda, pesan dari kakak membuatku ingin mengulang waktu. Jangan boros dengan uangnnya ya itu jatah
seminggu mu. Aku instan berpikir, berapa hari ya aku harus puasa makan
siang?
Aku siap untuk dia. Payung
sudah dua, tempat payung sudah ada bahkan aku sudah kembali bercerita dengan
teman-teman sekelasku. Yang menyelesaikan
konflikku dengan mereka hanya tiga huruf: “hai!” dan aku kembali menjadi
diriku yang dulu. Berteman dengan semua orang, bukan lagi alien, tapi eks-alien. Seperti aku yang
tidak peduli siapa yang mengambil payungku tempo hari, mereka pun sekarang
tidak peduli kenapa aku membawah dua payung. Tapi diantara semua kesiapan untuk
bertemu dia, hanya satu yang tidak siap. Hujan. Dia tidak turun-turun lagi. Dan
sekarang sudah tiga hari. Tiga hari yang panjang.
Aku menghabiskan tiga hari
yang panjang ini dengan kesepian. Tidak ada kakak, tapi aku punya penghibur baru, menjahit.
Menjahit dan mendengarkan lagu adalah salah satu pembunuh waktu yang menyenangkan.
Mulai dari Eleanor Rigbi, jane and frank, Led Zep dan tak lupa juga reinkarnasi
mereka Greta Van Fleet menemani gerakan tanganku. Eh tiba-tiba lagunya
berpindah ke ‘anjing kacili’nya Bassgilano. Lagu yang aku download illegal
karena lagu tersebut digunakan untuk membantu teman-teman membuat video
lucu-lucuan. Aku menunggu sampai bagaian Chaosnya dulu baru ku ganti dengan
Mondo Grosso.
Sekarang hari ke lima, aku
sudah puasa makan siang 3 hari. Uang ku tinggal 50 ribu. Aku merasa kayak the
martian yang menunggu bantuan dari teman-teman yang meninggalkannya sedirian di Mars. Tapi aku lebih menantikan hujan dari pada
makanan. Tapi entah kapan hujan akan turun ke Mars, juga kapan hujan akan turun
disini.
“Aktifkan Bluetooth mu.”
Seorang wanita, Renny tiba-tiba bersuara disampingku dalam kelas yang ramai.
Aku yang biasanya akan langsung bertanya kenapa, ini seperti terhiptnotis dan
mengikuti instruksinya tanpa pretensi.
Beberapa file telah tertransfer ke HPku tanpa aku bisa berkata-kata. Dia
pun sama hanya menatap layar HPnya. Mata kami bertemu beberapa detik. Tapi
saling membuang pandang, dia entah menatap apa. Tapi aku pastinya menatap
kekosongan.
“Sudah.” Katanya pendek,
mengartikan Done di Hpku.
Aku mengangguk.
“Terima kasihnya nanti
saja.” Katanya sambil berbalik badan dan
berlalu, aku sempat melihat dia seperti berlari sebelum betul-betul hilang
terhalang tembok. Renny melakukan sesuatu yang tak pernah ku duga, dan aku tak
punya persiapan untuk itu. Entah respon seperti apa yang aku harus nya berikan.
Aku hanya… tidak tahu.
Aku bukan pendoa yang
taat, doa ku hanya sebatas mensyukuri makanan sebelum memakannya. Sekarang doa
ku semakin panjang dan rutin, sebelum sarapan ku sebut kau dan hujan, makan
siang, makan malam, sebelum tidur, saat
bangun, bahkan saat aku tiba-tiba bangun karena mimpi buruk, ku berdoa besok
hujan dan kau ada disana, aku semacam
pengemis religius bercampur pawang hujan amatir.
Malam ini aku hanya
menatap langit yang penuh bintang, aku melankolik sekali hari ini. Entah pengaruh
apa yang pasti playlist dari Renny yang dikirimnya tadi di sekolah mengambil
bagian penting di dalamnya. Salah satunya lagu Indonesia. Danila, ini tuh lagu yang
sangat cocok menemani aku sekarang. Dan
lagu ini aku putar berulang-ulang dan menjadi soundtrack untuk malam ini.
Soundtrack yang sempurna. Makasih Renny, aku harus mengakui sense musiknya
cocok denganku, tapi kenapa sampai dia tahu jenis musik yang aku suka?
Besoknya
hari yang tak hujan. Hanya ada embun di jendela. Aku mencari Renny. Aku ingin
berterima kasih, tapi aku tak menemukannya sedangkan bel pagi sudah
berbunyi. Di kelas yang ramai karena
lowong, aku memutuskan walau hari ini tidak hujan, aku akan menunggu dia
disana. Itu keputusan ku hari ini. Dan
itu yang aku lakukan.
Sudah
tiga puluh menit aku duduk sendirian disini, tak ada tanda-tanda dia untuk
lewat. Tapi tadi malam aku berdoa kok, dan harapanku tinggi untuk itu.
Dia
lewat.
Yah…
dia lewat. Lewat. Aku hanya terdiam, entah apa yang membuatku seperti itu. Tapi
jelas aku tidak bisa menawarkan payung sementara cuaca cerah tanpa hujan ini.
Kan konyol. Dan jelas dia luar biasa
tadi, itu yang pasti, yang membuat aku semakin merasa pecundang tak berguna
yang harus hidup sendirian di Mars dan sepanjang hidupnya makan kentang… Tanpa saus.
Aku
menghabiskan sore itu dengan menyesal sendiri di tempat duduk, mencoba mencari
oknum yang harus disalahkan dan selalu yang
aku temukan hanya aku yang bodoh. Sangat bodoh. Sangat sangat bodoh.
Dan
setelah menghitung kembali ternyata jarak antara aku dan dia hanya tujuh
langkah setengah.
Untuk
yang berusaha cepat pulang, berlari tanpa mengerti jatuh, serobot kalau perlu,
ingin cepat pulang, membuka pintu rumah tanpa sabar, dan saat itu tertutup
keras kau sadar kau aman, namun kau tak berbobot, rembah tanpa perlawanan.
Untuk kau yang ingin cepat pulang, kita sama.
Setelah
beberapa hari ini tidak menonton TV, aku memberanikan diri untuk melihat
kekonyolan apa yang ada di dunia televisi yang kian tak ber faedah akhir-akhir
ini. Aku ingin mencari sesuatu untuk dicercah setidaknya untuk menyenangkan
diriku sendiri. Tapi yang layar kecil itu tunjukan padaku adalah footage dari
bencana, yang memilukan dimana digambar terlihat seorang wanita sedang
menggendong anak kecil yang menangis keras mencari ibunya. Aku pasti langsung
akan mengenal kakakku dimanapun dia berada, bahkan saat kotoran lumpur menutupi
wajahya. Dia tetap kakaku, kakakku yang mengendong anak kecil.
Walaupun
kata ku itu keren tapi aku tidak pernah bisa menghargai dan memahami sepenuhnya
maksud kakakku resign dari tempat kerjanya yang sangat bisa membuat kami makan
lalapan 4 kali dalam sekali sarapan. Tapi ini membuatku sadar, dia melihat
dunia lebih luas dari pada aku, dan cakupan pandangku seperti sangat sempit.
Jauh dibanding dia. Langsung ku kirim pesan panjangku ke kakakku, dan ini untuk
pertama kalinya aku menulis pesan sepanjang ini. Dia melihatnya, berarti dia
masih belum tidur, tanpa menunggu dibalas, aku langsung menelponnya.
“Apa kabar kak?” suaraku berat.
“hemmm… kenapa?” sepertinya signal disana gangguan atau
apa.
“kak baik-baik saja, kan? Iya kan? Kak… kak” semakin
kurang jelas saja suara diseberang.
“kak, aku Cuma mau bilang, kakak hebat, aku sayang
kakak.” Entah itu tembus kesana atau tidak,
setidaknya aku sudah mengungkapkannya.
Aku
susah tidur malam ini, dan kali ini yang ku doakan adalah hujan, dia dan
khususnya kakak. Tuhan dengar doaku, khususnya mengenai kakak.
Saat akhirnya mataku akan
tertutup, pesan masuk ke HPku.
Kakak baik-baik saja, kok… nggak usah khawatir ya, besok malam kakak
pulang… dan tentu saja … kakak sayang kamu. :*
Aku
menangis keras.
Besoknya
aku lupa sarapan, lebih tepatnya aku mogok sarapan. Dan untuk pertama kalinya
aku bersyukur hari ini tidak hujan, aku punya agenda untuk hari ini. Maaf ya.
Sepulang
sekolah aku langsung ke toko Serda. Mengeluarkan Uang 50 ribu ku dan bertanya
seperti mengutip iklan printer,
“kalau
ini bisa dapat apa?”
Bu
Sanny tersenyum.
Aku
memborong beberapa bahan makanan, mulai dari sayuran sampai bumbu makanan, sudah
ku bilang kan toko serda itu hebat, mereka punya apa yang aku butuhkan dan
mereka tidak pernah mengecewakanku.
Aku gagal dalam memasak. aku belum bisa, tapi aku harus
bisa. Memasak tidak semudah melihat resep, aku butuh kakak untuk mengajariku.
Kakak sebentar lagi datang dan aku belum menyelesaikan apa-apa…
“Selamat malam, ” suara kakak mengema, seperti bel
selesai di acara Master Chef dan Chef Juna akan langsung memaki-maki padaku,
tapi tak mungkinkan kakakku seperti itu.
“Owh…
what a surprise, sejak kapan…” kata kakaku binggung. Ini pencapaian loh. Akhirnya aku membuat kakakku
bingung.
Kakakku
mendekat.
“Mari
kak bantu.”
“Ah
berisik, sana duduk. Memasak itu butuh konsentrasi. Dan…”
“Okey,
Juna junior, tahan disitu, kakak akan
kesana, duduk diam dan menunggu dengan sabar dan harus enak ya, kalau nggak
enak…”
“Kakak bisa kok makan makanan pesan antar kalo ini nggak
enak.”
“Nggak
mungkin, kakak akan tetap memakannya bagaimana pun rasanya. janji”
“Berisik.”
Makanan buatan ku pun selesai, omurice yang berhasil
selesai. Setelah beberapa percobaan yang
disadari kakakku.
“Ini percobaan ke berapa?”
“Apa nggak lebih baik,
berdoa dan bersyukur aja.” balas ku sinis.
“Ya, Silahkan.”
“Maksudnya aku yang
berdoa?”
“Nggak, kamu harus
menghubungi pendeta secara online dan menyuruh berdoa makan untuk kita lewat
Video Call… ya kamulah yang berdoa, ayo…”
Aku tidak tahu bagaimana.
Tapi akhir-akhir ini kan aku rajin berdoa. Ini bukan masalah besar.
“Mari
kita berdoa. Ya Tuhan berkatilah makanan dan minum ini, semoga jadi berkat, dan
semoga besok hujan, hujan yang sangat deras dan akhirnya aku bisa memberikan
payungku ini kepadanya ya Tuhan, dan akhirnya kita…” tanpa menyelesaikan doa ku
pun aku sudah sadar, aku mengucapkan doa rutinku dimana dia dan hujan ada di dalamnya
tapi kali ini dengan suara lantang di depan kakak lagi.
“Amin.”
Kakakku mengakhiri doaku. Ada barang 7 detik dia hening sebelum tawanya
benar-benar pecah. Aku tak mampu juga menahanya, kami tertawa dengan makanan
ada di mulut kami. Saat kakakku menatapku
dengan tatapan introgasi,
“Jangan
tanya kak, jangan…” kami hanya saling membagi tawa. Sangat menyenangkan. Aku
sampai lupa tanya seberapa enak masakanku, tapi dari cara makan kakak yang
lahap, pasti cukup enak.
Kami
menghabiskan waktu di teras atas, sambil mendengarkan kakak menceritakan
pengalaman yang baru saja dia alami, betapa kecilnya kita di dunia yang begitu
luas ini. Aku memperhatikan dengan seksama, seperti seorang anak kecil
mendengar kisah dari seorang kakek tua.
Sudah sangat larut, sampai kami sama-sama mengantuk, kami menguap disaat yang bersamaan. Aku sepertinya ingin tidur di teras ini, bodoh amat dengan dinginnya, aku tak ingin
bergerak. Tapi kakakku tidak menyetujuinnya.
“Bukannya
apa, tapi kau tak mau masih disinikan pas hujan turun?”
“Hujan
turun? Besok?”
Kakak mengangguk.
“Iya betul, ayo masuk.”
Kakak ku memang tahu banyak
hal, bahkan dia tahu besok akan hujan, dia pastinya punya penjelasan untuk
pernyataanya, dia selalu punya, aku ingin menanyakannya tapi aku lebih memilih
menjadi pengiman yang taat dan percaya besok akan betul-betul hujan.
Aku tidur cukup nyenyak
malam, seperti baru menyelesaikan pertandingan final sebuah olah raga dan
menang, tapi lelah.
Badanku digerak-gerakkan.
Aku mulai tersadar, aku melihat senyum kakakku. Tanpa berkata apa-apa dia
menunjuk ke arah jendela. Aku mengikutinya.
Hujan deras. Suaranya pun
otentik, biasanya ini membuat kita ingin tidur lagi, tapi ini bukan biasanya,
kan? Aku tersenyum melihat kakakku,
“Makasih kak.”
“Ehhhh… ke Tuhan. Doamu
terkabulkan, kala… ”
Belum selesai kakak
berkata, aku langsung berdoa. Kakakku sabar menunggu ku selesai. Saat selesai,
sebelum kakakku mengeluarkan kata apa-apa, langsung ku potong.
“Maaf ya kak, bukanya
tidak ingin mendengar ucapan kakak, tapi aku punya hal yang harus aku kerjakan.
Penting ini.” Aku langsung bergegas
bangkit. Tak sampai 10 menit aku selesaikan rutin persiapan ke sekolah ku. Aku langsung berlari keluar rumah.
“Hei!!! Tunggu, tunggu!”
kakakku menghentikan langkahku.
“Kenapa lagi? Aku
buru-buru.”
“Nggak butuh ini?” kakak
menunjukan payung biru navy di gegemannya.
“Oh iya sampai
ketinggalan, lempar aja kak.”
Mendarat dengan aman di tangan kiri yang tidak memegang
payung.
“Hei
ingat, ” ini dia kebijaksanaan kakak
akan keluar. Entah apa kali ini.
“Apa?
Cepetan?”
“Nggak,
nggak ada, kak salah, kau udah tahu apa
yang kamu harus lakukan.”
“Makasih … kak.”
Aku memasukan payung
tersebut ke kantong hasil jahitanku.
Saat jalanku sudah jauh
dari rumah, sambil tertawa-tawa aku sadar, eh… aku menunggu dia sepulang sekolah, kan?
Kenapa aku harus cepat-cepat ke sekolah? Jawabanku, aku tidak sabar... Ingin…
Melihat… Dia.
Aku tidak sabar. Di apel
pagi aku tidak sabar. Di dalam kelas aku tidak sabar. Waktu istirahat aku tidak
sabar. Tahu-tahu aku sudah berjalan saja ke dekat tempat itu. Dan bagian terbaiknya, hujan masih belum saja
berhenti. Yeay!
Renny berjalan kearahku,
wajahnya rapuh seperti di siram kesedihan. Dan kenapa dia tidak memakai baju
sekolah? Dia menghadapku dan terdiam. Aku juga mengikut. Dia basah, sepenuhnya
basah. Aku punya payung. Tapi… eh… tapi…
Bagaimana sekarang, dia
butuh payung segera, dia bahkan berhenti di dekatku, pasti maksudnya itu, aku
orang yang membawah dua payung dan dia sedang basah, payung satu ku nganggur,
kan logikanya mudah. Dan terlebih lagi
aku harus berterima kasih padanya. Biasanya orang langsung memberikan
payungnya. Tapi ini bukan biasanya. Dan aku tak tahu harus bagaimana.
Dia lewat. Iya, dia lewat.
Lewat.
Tanpa memerdulikan
kebingunganku dia berjalan santai melewati aku dan Renny. Renny masih diam, dia
baru lewat. Dan aku… Harus bagaimana!?
Hujan kejam terhadapku,
apalagi semesta. Tapi aku tak ingin dia mengalahkanku dengan mudah. Tujuanku
tetap sama, sampai titik ini aku tak ingin hujan membasahi dia. Dan itulah yang terjadi. Dia merasakan sesuatu yang berbeda, hujan tak lagi berkuasa atasnya,
kepalanya tidak lagi ditetesi hujan, payungku menaunginya, aku mengejarnya dan
kulepaskan payung biru navy ke tangan Renny tanpa berkata. Aku berada
disampingnya, dia tidak basah karena payungku. Itu tugasku, dan aku basah
karenanya. Biasanya orang akan merasa dingin kalau diguyur hujan begini. Tapi
ini bukan biasanya, ada perasaan hangat di dada ku yang mampu mengalahkan
dingin.
Jarak diantara kami hanya
satu langkah.
Dia
menatapku. Kami saling mengunci mata.
Semoga ini bisa mengunci waktu, membawah kita ke tempat berbeda dimana waktu hanya
mitos masa lampau, dan kita lah penguasanya, segala hal pasti mungkin. Izinkan aku berharap melawan kebenaran ini dan kabulkan permintaan teregois ini.
Tidak! waktu terus
berjalan tanpa peduli. Dia mengedipkan
matanya, tetap menantapku. Aku tengelam dalamnya. Bagaimana mungkin dua bola
mata bisa menarik seorang manusia dalam arus yang begitu dalam, dimana
melawannya menjadi pilihan terburuk. Tatapannya menunggu aku untuk mengeluarkan suara.
“Eh…”
Aku tak tahu apa yang
harus ku katakan. Pelangi di ujung sana menyaksikan kami. Indah, sembari
mengingatkan pertanda cuaca yang jelas.
Aku mohon, berikan aku… Berikan
aku sedikit waktu lagi, pelangi. Kataku
dalam hati.
Komentar
Posting Komentar