Langsung ke konten utama

Aku, Hujan dan Dia.


Aku, Hujan dan Dia.
Oleh: Glint Lintjewas
Saat hujan, orang-orang selalu menanti pelangi indah saat hujan berhenti. Aku  bukan orang-orang itu. Saat hujan yang aku nantikan, ya itu. Hujan… Hujan dan dia.
“Sedia payung sebelum hujan.” Adalah frasa yang paling tidak digunakan para penanti pelangi. Karena ‘sebelum hujan’nya itu sangat sulit diketahui, yang sangat sulit diderminasi. Sebelum hujan adalah jarak waktu antara hujan sebelumnya dan hujan selanjutnya, dan entah berapa lama jarak waktu sebelum hujan itu. Jadi solusi terbaikku adalah selalu membawa payung di waktu manapun. Seperti Nuh yang membuat batrah tanpa tahu kapan air bah nya akan datang.
Dan harus dua. Maksudku payung yang aku bawah harus dua. Bagi yang merasa kalau ini aneh, okey mari dengar penjelasan kliseku. Beginilah itu bermulai. Sejauh yang aku ingat, aku seorang siswa SMA kelas dua, hidup sebagaimana siswa SMA seharusnya, tapi bukan aku yang menilai aku, orang-orang sekitarku, mereka bilang sih begitu. Aku nggak mungkin bertanya ke mereka “Apa aku normal?” Karena dengan begitu aku secara instan menjelma menjadi alien dari planet  normalkahaku  yang seharusnya bergaul dengan maskot kental manis yang jangan disebut lagi susu, Karena itu standar normal baru.
Sebagaimana aku bilang aku normal, itu secara instan membuat aku menjadi salah satu penanti pelangi, dulunya. Yang  mana aku tidak pernah membawa payung sebelum hujan. Dan tentu saja membenci hujan,  ketika dia menyombongkan kemampuannya secara tiba-tiba saat aku tengah berjalan santai.  Lari cepatku adalah seperti kemampuan harian yang hanya dipakai sekali sehari, dan tadi pagi aku terlambat bangun. Aku hanya berjalan santai dan bertepi ke sebuah pondok kecil, hanya aku yang disana.
 Padahal hujan adalah salah satu music terbaik  untuk mengantar tidur, tapi aku memilih untuk mendengar lagu sendu lain untuk menemaniku. Aku membuat dunia music saling melawan. Hujan, music alami dan Mondo Grosso, music electric modern yang bertujuan sama. Entah  mereka beradu atau berpadu. Hujan x Mondo Grosso.  
Ehm… Dan ini bagian terbaiknya.
Tak ada yang bisa menjawab bagaimana cinta bisa bermula, bagaimana rasa itu bisa timbul. Jika kau tanya aku, aku juga tak bisa. Tapi… setidaknya aku punya jawaban untukku sendiri, Hujan dan dia.
Seperti muncul dari horizon, dewi negeri dongeng. Negeri dimana dewinya berjalan perlahan memeluk tas anak SMA. dia muncul begitu saja seperti diciptakan oleh otoritas hujan itu sendiri. Dia bahkan berjalan jauh lebih santai dari aku, tidak angkuh, tanpa kebohongan, tanpa peduli, hanya ingin menegaskan kedewiannya. Dia tak salah. Hujan yang membawahnya dan biarkan dia bergerak bersamannya.
Saat posisi kami linier, dia berpaling menghadapku. Aku terdiam, selayaknya seorang makhluk yang menatap dewinya, tak bisa berbuat apa-apa.  Sedetik kemudian matanya berbicara kepadaku dengan tatapan yang berarti: ‘kau punya payung?’. Hanya terkagum yang bisa mataku balas sampai akhirnya waktu bertatap kita selesai dan waktu terbaikku sepanjang hidup selama 16 tahun yang bisa kuingat, berakhir. Terganti dengan suara hujan yang entah kenapa seperti keheningan kedap suara. Aku terjebak dalam ruangan tanpa bentuk kedap suara yang hanya ada aku dan penyesalan, bertiga  dengan tulisan besar “KENAPA!? Kau tidak membawah payung?”  yang menatap kami berganti-gantian.
Hanya ada dua masa, sebelum dia dan sesudah dia. Dia itu terang, dan sebelum dia itu kelam. Hanya dengan menatapnya, aku paham kenapa Tuhan pertama menciptakan terang.
Pertemuan itu mengubahku. Pertemuan itu membuat aku mempunyai tujuan hidup, bukan untuk menyelamatkan dunia dari serangan monster besar, tapi memayungi dia saat hujan datang. Jadi aku putuskan membawah dua payung kemanapun. Harus dua, karena aku anak laki-laki 16 tahun yang nggak mungkin sepayung berdua dengan dia, belum mampu dan tahu diri. Itu lah jawaban untuk kenapa? Klise, kan?
            Aku menjadi alien. Selalu ada momen tertentu dalam hidup manusia yang mengubah mereka, bisa itu lolos dari bencana, menang lotre, pengalaman hampir meninggal dan aku… Ini. Membuatku bermetamorfosis menjadi aku yang lain.
Aku ingin menyimpan semua hal yang ada kedalam lemari dan menyisahkan aku dan payung ini. Ini misi baruku dalam permainan yang disebut hidup, dan tak ada yang ingin misinya gagal. Jadi aku serius untuk misi ini. Misi  menyelamatkan dewi hujan dari hujan, sebuah misi yang paradox.  Aku berubah, bahkan cara bicaraku pun sedikit berbeda, seperti itu yang pertama berubah saat ingin hidup ‘baru’,  semacam,  “aku tidak mau mendengar suaraku lagi.” bagi sebagian pelaku criminal.
Bukan hanya aku yang menyadari perubahan ku, memang terlalu jelas. Seorang yang pada hakikat dasarnya tidak terlalu mencolok di kelas, kini mencolok karena ketidak mencolokannya. Semua memperhatikan aku yang tidak focus dengan sekitar, terlalu focus terhadap apa yang aku anggap lebih penting mungkin. Aku mempunyai perkumpulan diantara teman-teman kelas. Biasalah kebiasaan anak sekolah yang ingin memiliki perkumpulan. Di kelas ada perkumpulan yang menyukai K-pop, J-pop, anime, acara alay, FTV Indonesia, macam-macam. Dan aku tergabung dalam perkumpulan yang tidak menyukai apa yang perkumpulan lain lakukan. Kami ada lima orang. Kerjaan kami hanya duduk berdekatan dan tak mengurus urusan masing-masing. Entah sejak kapan kami menjadi perkumpulan setahuku kami tak pernah rapat perkumpulan untuk membahas itu. Kami memang tidak pernah membahas apa-apa. Sekarang itu tidak penting karena bahkan perkumpulan ku tidak ingin berkumpul dengan ku, aku sekarang anggota  dari perkumpulan yang tak punya perkumpulan, jumlah anggota: 1. Aku. Hari lahir perkumpulan: tepat saat aku membawah dua payung dan menjadi pendiam di sudut ruangan.
Ada banyak rumor yang bersebar menganai aku, ada yang bilang aku kesambet, aku jadi mucikari, diperkosa oleh om-om, atau ada yang bilang aku telah menjual jiwa ku ke iblis, huhhh…  terdengar keren. Aku semacam legenda masyarakat yang hidup di kelas ku. Panggil aku Ridaman kalau perlu…  Maksa.
Aku menaruh payungku di sudut belakang kelas. Itulah mulanya mereka mulai mencurigai keanehan ku, diikuti dengan kebisuanku untuk menjawab pertanyaan untuk apa payung itu. Aku memang tidak pernah peduli pendapat orang lain mengenai aku.  Sampai suatu saat setelah pulang sekolah aku mengambil payungku, dan berjalan keluar dari sekolah. Hujan pun datang, ku buka payungku dan berjalan santai, sampai aku sadar kalau aku hanya membawah satu payung.
Di sekolah tidak ada. Di seluruh sekolah tidak ada. Hilang. Aku mencurigai semoua orang, sampai satpam yang menjaga sekolah yang baru masuk kemarin kumasukan dalam daftar yang ku benci. Tanpa alasan pasti. Cuma pengaruh labil yang kesal.  Aku berakhir di tempat duduk di pondok yang sama saat pertama aku melihatnya, walaupun matahari tidak terlihat, aku sadar ini sudah sangat sore.  Dia pasti sudah lewat. Salah satu alsan lagi untuk kesal.
Aku duduk berteman dengan diriku sendiri untuk waktu yang lama. Hujan rintik itu bernada. Nada mengejek terbaik yang mampu di arasemen oleh hujan.
Bukannya aku ingin hidup sendiri dan terdengar menyedihkan, tapi bukankah dunia memberikan kita sedikit pilihan, dan duduk menatapi hujan adalah salah satu yang terbaik diantara. Aku menatapinya lama. Entah apa itu.
Kenapa hujan terdengar sangat menyedihkan dan melankolik?  Hujan memutuskan hubungan kita dengan dunia, kita tidak sebebas biasanya.  Saat sedih banyak orang mandi di shower. Dan saat hujan, kesedihan itu seperti dibagi ke seluruh dunia. Kesedihan skala besar.
Malam itu juga aku memulai kegiatan baruku, menjahit. Tujuanku sederhana, agar payung yang ku bawah selalu berada di dekatku. Di samping tasku dan tas yang aku pakai hanya mempunyai satu tempat untuk payung. Jadi, solusinya adalah aku menjahit yang satunya lagi.  Sayangnya aku tidak tahu menjahit. Bahkan aku tidak lulus tes dasarnya, memasukan benang dalam jarum. ahhhh… susahnya itu. Mungkin lebih mudah memasukan unta ke lubang jarum dari pada memasukan benang ke lubang jarum. Di dunia modern ini apakah belum ada ya orang yang menciptakan alat untuk memasukan  benang dengan mudah? Kita sudah banyak  kali pulang pergi Mars loh.
Kakakku pun tertawa geli melihatku frustasi. Tipikal kakak yang tak bisa diandalkan, perempuan yang melihat kesenangan yang luar biasa di tengah kesengsaraan dasyat makhluk sedarahnya, kalau saja dia bukan satu-satu keluargaku yang tersisa, mungkin dia akan aku tukar mesin pemasuk benang dalam jarum, kalau ada.
Kakakku ini adalah orang yang pintar, itu bukan pujian, aku tak ingin memujinya, nggak akan. Tapi tak ada orang yang ku kenal  lebih pintar dari dia. Dia mengerti banyak hal yang sangat remeh. Contohnya dia pernah memberikan penjelasan panjang lebar, lengkap dengan nama-nama orang dan tahun mengenai konsep sosialisme hanya karena aku bertanya kenapa uang jajanku berkurang? Aneh, kan. Tapi  dia juga mampu berhitung dengan sangat cepat. Sangat cepat. Mungkin karena itu dia langsung jadi anilis andalan hanya dalam waktu kurang dari 1 minggu bekerja. Tapi di tengah ke pintarannya, dia sesekali membuat keputusan bodoh, misalnya sekali menjadi pacar seorang laki-laki brengsek, tiga kali membeli produk pemutih abal-abal, berhenti dari pekerjaan kantor  dimana dia menjadi analis terkemuka untuk menjadi relewan. Ehhhhh… sorry untuk yang terakhir bukan keputusan bodoh kayaknya, itu keren.
Matanya itu walaupun dia masih  20an tapi seperti mata seorang peramal, dengan menatap pupilnya saja, dia seperti mendownload isi kepalamu. Lebih baik dia bersaing dengan Sherlock Holmes deh, dari pada menjadi kakakku.
“Sudah cukup, nah begini…” ungkap kakakku akhirnya paham kegundahan adiknya, atau dengan kata yang lebih halus, sudah puas menertawai aku.
Dia tidak pernah langsung mengerjakannya tapi selalu memberikan contoh agar aku yang mengerjakan. Memang dia tahu banyak hal, menjahit pun tak luput dari pengetahuaannya. Aku yang dungu dalam menjahit setelah dilatihnya menjadi naik level jauh, aku seperti merasa mampu menjahit jas pernikahanku sendiri.
“Kau butuh uang tambahannya tidak?”apa lagi yang sudah diketahuinya. Kakakku menatap tas ku dan payung.
“Tidak, untuk apa?” ya, aku butuh uang tambahan, aku ingin membeli payung baru, dan sepertinya dia tahu itu, dan dia juga tahu kalau aku berbohong. Dasar wanita penyihir pembaca pikiran. Tapi aku tidak ingin membebaninya, dia sepertinya kesulihat uang akhir-akhir ini.
“Ya sudah, bisa diteruskan sendirikan? mau instirahat.”
“Nggak makan dulu?”
“Apa…? Minyak garam?  Kakak sudah makan kok tadi, kamu sudah?”
“Sudah.”
“Hei, kalau uang makan mu kurang, jangan sungkan bilang ke kakak, ya?”
“Iya, sudah-sudah kakak istirahat sana, ganggu aja. Menjahit itu perlu ektra konsentrasi, ”
“huuuuh… the artist is on progress”
Butuh waktu sampai pukul 12 lewat hingga aku menyelesaikan karya pertamaku, jahitan tangan yang sangat aku banggakan. Di sudutnya aku membuat inisial namaku. R.D bentuk narsisme semua seniman.  Baik melihat sebuah magnum opus aku bangga dengan karyaku ini. Aku punyi cita-cita baru kayaknya. Menjahit.           
Toko serda atau kepanjangan dari serba ada, adalah toko kecil yang menjadi tempat langgananku untuk membeli berbagai macam hal mulai dari makananku setiap hari sampai peralatan-peralatan sekolah sampai payungku adalah benda yang dulunya dijual di toko ini. Aku pelanggan setia, hampir setiap hari aku membeli makanan disini, penjaga tokonya pun sudah kenal gerak-gerikku. Langganan. Langsung saja ibu Sanny mengambil bungkus nasi kuning, dia bertindak begitu normal hari ini. Tapi tidak hari ini. Aku bukan aku yang kemarin dan kemarin dulu. Jelas aku langsung menggeleng. Ibu sanny binggung dengan gesture ku yang berbeda, mencoba membaca enigma dari pergerakanku, ibu Sanny menyerah.
“Kenapa, dek Ri? Nggak makan?”
Aku hanya menggeleng. membalas
“nggak punya uang?”
Aku mengeluarkan uang jajanku, uang jajan yang ditinggalkan kakak tadi pagi, katanya saat aku masih tidur,  karena pengaruh masih ngantuk, yang jelas ku dengar hanya aku harus cepat bangun, kakak mau pergi ke tempat bencana di mana gitu, mungkin berapa lama nggak terdengar jelas dan uang makan dan jajan ada di meja. Dibagian uang jajan sih aku sudah bangun, telingaku berfungsi penuh. Kira-kira seperti itu.
Dan nominal uang jajanku ini, lumayan. Aku tiba-tiba merasa kaya. Mungkin aku kemarin laki-laki nasi kuning tapi hari ini aku laki-laki ayam lalapan. Naik derajat lah sekali-kali, dengan bangga aku melahap lalapan dan dengan tenang aku minta tambah. Enak juga makan dua lalapan di pagi hari. Kapan terakhir aku makan seperti ini? Tidak pernah.
Wajah senyum-senyum a la pemilik tambang emas aku pasang menatap ibu sanny yang binggung harus menyikapi ku seperti apa.
“Berepa semuanya?” Behhh… dialog sombong yang aku latih tadi pagi didepan kaca.
            “42 ribu dek.” 
Aku mengeluarkan 50ribu langsung. Dan bersiap untuk mengatakan dialog sombong lainnya yang sudah aku katam sejak latihan terakhir tadi di jalan.
            “Simpan kembaliannya.”Behhh…
Aku berjalan berusaha berlalu agar scene ini terlihat sangar tapi aku lupa satu hal, aku harus membeli payung baru. Dan harus biru. Kenapa? Ya karena akan sesuai dengan tas yang dipeluknya waktu itu.
Aku menunjuk kearah payung biru navy, di dalam pelastik yang digantung.
“Ambilkan yang itu, bu”
“Itu yang paling mahal dek, ini ada yang 20 ribuan kalo itu mah 70 ribu dek.”
“Apa aku terlihat kaget dengan harganya.”uhh… kalimat sombong lainnya yang entah dari mana aku mengutipnya mungkin buku database kalimat sombong edisi 2, yang membuat aku merasa bersalah mengatakannya dan instan minta maaf ke bu Sanny.  Namun tetap membeli payung tersebut, dengan uang kembalian yang aku ambil.
Saat aku baru saja keluar dari toko serda, pesan dari kakak membuatku ingin mengulang waktu. Jangan boros dengan uangnnya ya itu jatah seminggu mu. Aku instan berpikir, berapa hari ya aku harus puasa makan siang?
Aku siap untuk dia. Payung sudah dua, tempat payung sudah ada bahkan aku sudah kembali bercerita dengan teman-teman sekelasku. Yang menyelesaikan  konflikku dengan mereka hanya tiga huruf: “hai!” dan aku kembali menjadi diriku yang dulu. Berteman dengan semua orang, bukan  lagi alien, tapi eks-alien. Seperti aku yang tidak peduli siapa yang mengambil payungku tempo hari, mereka pun sekarang tidak peduli kenapa aku membawah dua payung. Tapi diantara semua kesiapan untuk bertemu dia, hanya satu yang tidak siap. Hujan. Dia tidak turun-turun lagi. Dan sekarang sudah tiga hari. Tiga hari yang panjang.
Aku menghabiskan tiga hari yang panjang ini dengan kesepian. Tidak ada kakak,  tapi aku punya penghibur baru, menjahit. Menjahit dan mendengarkan lagu adalah salah satu pembunuh waktu yang menyenangkan. Mulai dari Eleanor Rigbi, jane and frank, Led Zep dan tak lupa juga reinkarnasi mereka Greta Van Fleet menemati gerakan tanganku. Eh tiba-tiba lagunya berpindah ke ‘anjing kacili’nya Bassgilano. Lagu yang aku download illegal karena lagu tersebut digunakan untuk membantu teman-teman membuat video lucu-lucuan. Aku menunggu sampai bagaian Chaosnya dulu baru ku ganti dengan Mondo Grosso.
Sekarang hari ke lima, aku sudah puasa makan siang 3 hari. Uang ku tinggal 50 ribu. Aku merasa kayak the martian yang menunggu bantuan dari teman-teman yang  meninggalkannya sedirian di Mars.  Tapi aku lebih menantikan hujan dari pada makanan. Tapi entah kapan hujan akan turun ke Mars, juga kapan hujan akan turun disini.
“Aktifkan Bluetooth mu.” Seorang wanita, Renny tiba-tiba bersuara disampingku dalam kelas yang ramai. Aku yang biasanya akan langsung bertanya kenapa, ini seperti terhiptos dan mengikuti instruksinya tanpa pretensi.  Beberapa file telah tertransfer ke HPku tanpa aku bisa berkata-kata. Dia pun sama hanya menatap layar HPnya. Mata kami bertemu beberapa detik. Tapi saling membuang pandang, dia entah menatap apa. Tapi aku pastinya menatap kekosongan.
“Sudah.” Katanya pendek, mengartikan Done di Hpku.
 Aku mengangguk. 
“Terima kasihnya nanti saja.”  Katanya sambil berbalik badan dan berlalu, aku sempat melihat dia seperti berlari sebelum betul-betul hilang terhalang tembok. Renny melakukan sesuatu yang tak pernah ku duga, dan aku tak punya persiapan untuk itu. Entah respon seperti apa yang aku harus nya berikan. Aku hanya… tidak tahu. 
Aku bukan pendoa yang taat, doa ku hanya sebatas mensyukuri makanan sebelum memakannya. Sekarang doa ku semakin panjang dan rutin, sebelum sarapan ku sebut kau dan hujan, makan siang,  makan malam, sebelum tidur, saat bangun, bahkan saat aku tiba-tiba bangun karena mimpi buruk, ku berdoa besok hujan dan kau ada  disana, aku semacam pengemis religious bercampur pawang hujan amatir.
Malam ini aku hanya menatap langit yang penuh bintang, aku melankolik sekali hari ini. Entah pengaruh apa yang pasti playlist dari Renny yang dikirimnya tadi di sekolah mengambil bagian penting di dalamnya. Salah satunya lagu Indonesia. Denila, ini tuh lagu yang  sangat cocok menemani aku sekarang. Dan lagu ini aku putar berulang-ulang dan menjadi soundtrack untuk malam ini. Soundtrack yang sempurna. Makasih Renny, aku harus mengakui sense musiknya cocok denganku, tapi kenapa sampai dia tahu jenis music yang aku suka? 
Besoknya hari yang tak hujan. Hanya ada embun di jendela. Aku mencari Renny. Aku ingin berterima kasih, tapi aku tak menemukannya sedangkan bel pagi sudah berbunyi.  Di kelas yang ramai karena lowong, aku memutuskan walau hari ini tidak hujan, aku akan menunggu dia disana.  Itu keputusan ku hari ini. Dan itu yang aku lakukan.
Sudah tiga puluh menit aku duduk sendirian disini, tak ada tanda-tanda dia untuk lewat. Tapi tadi malam aku berdoa kok, dan harapanku tinggi untuk itu.
Dia lewat.
Yah… dia lewat. Lewat. Aku hanya terdiam, entah apa yang membuatku seperti itu. Tapi jelas aku tidak bisa menawarkan payung sementara cuaca cerah tanpa hujan ini. Kan konyol. Dan  jelas dia luar biasa tadi, itu yang pasti, yang membuat aku semakin merasa pecundang tak berguna yang harus hidup sendirian di Mars dan sepanjang hidupnya makan kentang… Tanpa saus.
Aku menghabiskan sore itu dengan menyesal sendiri di tempat duduk, mencoba mencari oknum yang harus disalahkan dan selalu yang  aku temukan hanya aku yang bodoh. Sangat bodoh. Sangat sangat bodoh.
Dan setelah menghitung kembali ternyata jarak antara aku dan dia hanya tujuh langkah setengah.
Untuk yang berusaha cepat pulang, berlari tanpa mengerti jatuh, serobot kalau perlu, ingin cepat pulang, membuka pintu rumah tanpa sabar, dan saat itu tertutup keras kau sadar kau aman, namun kau tak berbobot, rembah tanpa perlawanan. Untuk kau yang ingin cepat pulang, kita sama.
Setelah beberapa hari ini tidak menonton TV, aku memberanikan diri untuk melihat kekonyolan apa yang ada di dunia televisi yang kian tak ber faedah akhir-akhir ini. Aku ingin mencari sesuatu untuk dicercah setidaknya untuk menyenangkan diriku sendiri. Tapi yang layar kecil itu tunjukan padaku adalah footage dari bencana, yang memilukan dimana digambar terlihat seorang wanita sedang menggendong anak kecil yang menangis keras mencari ibunya. Aku pasti langsung akan mengenal kakakku dimanapun dia berada, bahkan saat kotoran lumpur menutupi wajahya. Dia tetap kakaku, kakakku yang mengendong anak kecil.
Walaupun kata ku itu keren tapi aku tidak pernah bisa menghargai dan memahami sepenuhnya maksud kakakku resign dari tempat kerjanya yang sangat bisa membuat kami makan lalapan 4 kali dalam sekali sarapan. Tapi ini membuatku sadar, dia melihat dunia lebih luas dari pada aku, dan cakupan pandangku seperti sangat sempit. Jauh dibanding dia. Langsung ku kirim pesan panjangku ke kakakku, dan ini untuk pertama kalinya aku menulis pesan sepanjang ini. Dia melihatnya, berarti dia masih belum tidur, tanpa menunggu dibalas, aku langsung menelponnya.
            “Apa kabar kak?” suaraku berat.
            “hemmm… kenapa?” sepertinya signal disana gangguan atau apa.
            “kak baik-baik saja, kan? Iya kan? Kak… kak” semakin kurang jelas saja suara diseberang.
            “kak, aku Cuma mau bilang, kakak hebat, aku sayang kakak.” Entah itu tembus kesana atau tidak,  setidaknya aku sudah mengungkapkannya.
Aku susah tidur malam ini, dan kali ini yang ku doakan adalah hujan, dia dan khususnya kakak. Tuhan dengar doaku, khususnya mengenai kakak.
Saat akhirnya mataku akan tertutup, pesan masuk ke HPku.
            Kakak baik-baik saja, kok…  nggak usah khawatir ya, besok malam kakak pulang… dan tentu saja … kakak sayang kamu.  :*
Aku menangis keras.
Besoknya aku lupa sarapan, lebih tepatnya aku mogok sarapan. Dan untuk pertama kalinya aku bersyukur hari ini tidak hujan, aku punya agenda untuk hari ini. Maaf ya.
Sepulang sekolah aku langsung ke toko Serda. Mengeluarkan Uang 50 ribu ku dan bertanya seperti mengutip iklan printer, 
“kalau ini bisa dapat apa?”
Bu Sanny tersenyum.
Aku memborong beberapa bahan makanan, mulai dari sayuran sampai bumbu makanan, sudah ku bilang kan toko serda itu hebat, mereka punya apa yang aku butuhkan dan mereka tidak pernah mengecewakanku.
            Aku gagal dalam memasak. aku belum bisa, tapi aku harus bisa. Memasak tidak semudah melihat resep, aku butuh kakak untuk mengajariku. Kakak sebentar lagi datang dan aku belum menyelesaikan apa-apa…
            “Selamat malam, ” suara kakak mengema, seperti bel selesai di acara Master Chef dan Chef Juna akan langsung memaki-maki padaku, tapi tak mungkinkan kakakku seperti itu.
“Owh… what a surprise, sejak kapan…” kata kakaku binggung. Ini pencapaian loh. Akhirnya aku membuat kakakku bingung.
Kakakku mendekat.
“Mari kak bantu.”
“Ah berisik, sana duduk. Memasak itu butuh konsentrasi. Dan…”
“Okey, Juna junior, tahan disitu,  kakak akan kesana, duduk diam dan menunggu dengan sabar dan harus enak ya, kalau nggak enak…”
            “Kakak bisa kok makan makanan pesan antar kalo ini nggak enak.”
“Nggak mungkin, kakak akan tetap memakannya bagaimana pun rasanya. janji”
“Berisik.”
Makanan buatan ku pun selesai, omurice yang berhasil selesai. Setelah beberapa percobaan  yang disadari kakakku.
“Ini percobaan ke berapa?”
“Apa nggak lebih baik, berdoa dan bersyukur aja.” balas ku sinis.
“Ya, Silahkan.”
“Maksudnya aku yang berdoa?”
“Nggak, kamu harus menghubungi pendeta secara online dan menyuruh berdoa makan untuk kita lewat Video Call… ya kamulah yang berdoa, ayo…”
Aku tidak tahu bagaimana. Tapi akhir-akhir ini kan aku rajin berdoa. Ini bukan masalah besar.
            “Mari kita berdoa. Ya Tuhan berkatilah makanan dan minum ini, semoga jadi berkat, dan semoga besok hujan, hujan yang sangat deras dan akhirnya aku bisa memberikan payungku ini kepadanya ya Tuhan, dan akhirnya kita…” tanpa menyelesaikan doa ku pun aku sudah sadar, aku mengucapkan doa rutinku dimana dia dan hujan ada di dalamnya tapi kali ini dengan suara lantang di depan kakak lagi.
            “Amin.” Kakakku mengakhiri doaku. Ada barang 7 detik dia hening sebelum tawanya benar-benar pecah. Aku tak mampu juga menahanya, kami tertawa dengan makanan ada di mulut kami.  Saat kakakku menatapku dengan tatapan introgasi,
            “Jangan tanya kak, jangan…” kami hanya saling membagi tawa. Sangat menyenangkan. Aku sampai lupa tanya seberapa enak masakanku, tapi dari cara makan kakak yang lahap, pasti cukup enak.
            Kami menghabiskan waktu di teras atas, sambil mendengarkan kakak menceritakan pengalaman yang baru saja dia alami, betapa kecilnya kita di dunia yang begitu luas ini. Aku memperhatikan dengan seksama, seperti seorang anak kecil mendengar kisah dari seorang kakek tua.  Sudah sangat larut, sampai kami sama-sama mengantuk,  kami menguap disaat yang bersamaan.  Aku sepertinya ingin tidur di teras ini,  bodoh amat dengan dinginnya, aku tak ingin bergerak. Tapi kakakku tidak menyetujuinnya.
            “Bukannya apa, tapi kau tak mau masih disinikan pas hujan turun?”
            “Hujan turun? Besok?”
Kakak mengangguk.
“Iya betul, ayo masuk.”
Kakakuk memang tahu banyak hal, bahkan dia tahu besok akan hujan, dia pastinya punya penjelasan untuk pernyataanya, dia selalu punya, aku ingin menanyakannya tapi aku lebih memilih menjadi pengiman yang taat dan percaya besok akan betul-betul hujan.
Aku tidur cukup nyenyak malam, seperti baru menyelesaikan pertandingan final sebuah olah raga dan menang, tapi lelah.
Badanku di gerak-gerakkan. Aku mulai tersadar, aku melihat senyum kakakku. Tanpa berkata apa-apa dia menunjuk kearah jendela. Aku mengikutinya.
Hujan deras. Suaranya pun otentik, biasanya ini membuat kita ingin tidur lagi, tapi ini bukan biasanya, kan? Aku tersenyum melihat kakakku,
“Makasih kak.”
“Ehhhh… ke Tuhan. Doamu terkabulkan, kala… ”
Belum selesai kakak berkata, aku langsung berdoa. Kakakku sabar menunggu ku selesai. Saat selesai, sebelum kakakku mengeluarkan kata apa-apa, langsung ku potong.
“Maaf ya kak, bukanya tidak ingin mendengar ucapan kakak, tapi aku punya hal yang harus aku kerjakan. Penting ini.” Aku  langsung bergegas bangkit. Tak sampai 10 menit aku selesaikan rutin persiapan ke sekolah ku.  Aku langsung berlari keluar rumah.
“Hei!!! Tunggu, tunggu!” kakakku menghentikan langkahku.
“Kenapa lagi? Aku buru-buru.”
“Nggak butuh ini?” kakak menunjukan payung biru navy di gegemannya.
“Oh iya sampai ketinggalan, lempar aja kak.”
Mendarat dengan aman di tangan kiri yang tidak memegang payung.
            “Hei ingat, ” ini dia kebijaksanaan  kakak akan keluar. Entah apa kali ini.
            “Apa? Cepetan?”
            “Nggak, nggak ada,  kak salah, kau udah tahu apa yang kamu harus lakukan.”
“Makasih … kak.”
Aku memasukan payung tersebut ke kantong hasil jahitanku.
Saat jalanku sudah jauh dari rumah, sambil tertawa-tawa aku sadar,  eh… aku menunggu dia sepulang sekolah, kan? Kenapa aku harus cepat-cepat ke sekolah? Jawabanku, aku tidak sabar... Ingin… Melihat… Dia.
Aku tidak sabar. Di apel pagi aku tidak sabar. Di dalam kelas aku tidak sabar. Waktu istirahat aku tidak sabar. Tahu-tahu aku sudah berjalan saja ke dekat tempat itu.  Dan bagian terbaiknya, hujan masih belum saja berhenti. Yeay!
Renny berjalan kearahku, wajahnya rapuh seperti disiram kesedihan. Dan kenapa dia tidak memakai baju sekolah? Dia menghadapku dan terdiam. Aku juga mengikut. Dia basah, sepenuhnya basah. Aku punya payung. Tapi… eh… tapi…
Bagaimana sekarang, dia butuh payung segera, dia bahkan berhenti didekatku, pasti maksudnya itu, aku orang yang membawah dua payung dan dia sedang basah, payung ysatu ku nganggur, kan logikanya mudah.  Dan terlebih lagi aku harus berterima kasih padanya. Biasanya orang langsung memberikan payungnya. Tapi ini bukan biasanya. Dan aku tak tahu harus bagaimana.
Dia lewat. Iya, dia lewat. Lewat.
Tanpa memerdulikan kebingunganku dia berjalan santai melewati aku dan Renny. Renny masih diam, dia baru lewat. Dan aku… Harus bagaimana!?
Hujan kejam terhadapku, apalagi semesta. Tapi aku tak ingin dia mengalahkanku dengan mudah. Tujuanku tetap sama, sampai titik ini aku tak ingin hujan membasahi dia.  Dan itulah yang terjadi.  Dia merasakan sesuatu yang  berbeda, hujan tak lagi berkuasa atasnya, kepalanya tidak lagi ditetesi hujan, payungku menaunginya, aku mengejarnya dan kulepaskan payung biru navy ke tangan Renny tanpa berkata. Aku berada disampingnya, dia tidak basah karena payungku. Itu tugasku, dan aku basah karenanya. Biasanya orang akan merasa dingin kalau diguyur hujan begini. Tapi ini bukan biasanya, ada perasaan hangat di dada ku yang mampu mengalahkan dingin.
Jarak diantara kami hanya satu langkah.
            Dia menatapku. Kami saling  mengunci mata. Semoga ini bisa mengunci waktu, membawah kita ke tempat berbeda dimana waktu hanya mitos masa lampau, dan kita lah penguasanya, segala hal pasti mungkin.  Izinkan aku berharap melawan kebenaran  ini dan kabulkan permintaan teregois ini.
Tidak! waktu terus berjalan tanpa peduli. Dia  mengedipkan matanya, tetap menantapku. Aku tengelam dalamnya. Bagaimana mungkin dua bola mata bisa menarik seorang manusia dalam arus yang begitu dalam, dimana melawannya menjadi pilihan terburuk. Tatapannya  menunggu aku untuk mengeluarkan suara. 
            “Eh…”
Aku tak tahu apa yang harus ku katakan. Pelangi di ujung sana menyaksikan kami. Indah, sembari mengingatkan pertanda cuaca yang jelas.
Aku mohon, berikan aku… Berikan aku sedikit waktu lagi, pelangi.  Kataku dalam hati.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Suicidal Note to The Murderer

“They would have been twice as thorough as usual. Suicide is a difficult thing to have to accept—” Robert Galbraith The Cuckoo's Calling (2012) I clearly make an embarassed mistake, I think the birthday of John Dickson Car is (30/10), so I finish the book really quick to chase the deadline. So, (30/11) is the real 110th  birthday of the Grandmaster of the locked room Mystery. John Dickson Carr. And to celebrate that, JJ from https://theinvisibleevent.wordpress.com/ , invite a Carr fans or mystery fiction fans in general to submit something Carr-related. And I as a novice reader of Carr legacy, think it seems like fun to join the festivity. as the beginning for me, I usually start a series chronologically like in Sherlock Holmes, Poirot, and Ellery Queen but I make my exception not to choose “Hag’s Nook”(1933) instead of prefer “The Case of The Constant Suicide”(1941). Though I just finished reading the day before (29/10) D-Day, because some  kind of busyness. In a train

The Hawk,Dove and Raven

“Dead men are heavier than broken hearts.”  Raymond Chandler ,  The Big Sleep Dalam rangka mengisi liburan seminggu karena lebaran , saya berencana untuk membaca kira-kira 3 buku atau lebih untuk diselesaikan dalam seminggu ini  rencananya semuanya novel Misteri kecuali mungkin Metamorphosis-nya Kafka yang sudah 50% . dari beberapa buku yang sementara dibaca,buku  pertama yang  selesai adalah buku dari Sidik Nugroho, Tewasnya Gagak Hitam. Seorang pengarang ditemukan tewas di sebuah kamar kost yang baru beberapa hari ditempatinya di Singkawang , tanpa barang-barang pribadi yang banyak, hanya barang Default dari kamar kos tersebut. Gantung diri adalah penyebab kematiannya dan bunuh diri itu yang diyakini oleh para penyidik , tapi tidak dengan Elang Bayu Angkasa , seorang  pelukis freelance yang penasaran mengenai berita ini di koran yang dibacanya di sebuah warung kopi dan tak habis pikir , kenapa harus seorang pengarang? Tapi kenapa tidak? Dari rasa penasaran nya itu akhirnya E

Chain of The Queen

“ Pure reasoning has it that when you have exhausted every possibility but one in a given equation that one, no matter how impossible, no matter how ridiculous it may seem in the postulation—must be the correct one” Ellery Queen , (The Roman Hat Mystery ,1929) Akhirnya bisa memuat posting-an Blog setelah waktu yang lama. Pengaruh malas pastinya. Tapi kali ini karena akhirnya bisa menulis sesuatu mengenai  mystery fiction,  harus menulis tentang konten yang layak. Dan yang  dimaksud dengan layak disini adalah novel pertama yang ditulis oleh dua saudara sepupu Frederic Dannay dan Manfred Lee atau yang lebih akrab dikenal dengan nom de plume sama seperti protagonist-nya Ellery Queen. Dengan novelnya The Roman Hat Mystery (1929) Saya akan sedikit mengikuti cara menulis blogger favorit saya untuk memisahkan antara penulis dan karakter, Ellery untuk Karakter dan Queen untuk Penulis. Di Indonesia sendiri, nama Ellery Queen mungkin sangat jarang didengar. Kalah terkenal diband